Hubungan Baik dengan Keluarga Berlainan Keyakinan
Allah Swt berfirman, "Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan ayah dan saudaramu menjadi
wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim." (QS. at-Taubah: 23)
Satu
pemahaman yang sering ditekankan dalam ayat-ayat al-Quran adalah
hendaknya orang-orang Mukmin menjauhkan dirinya dari orang-orang Kafir,
sekalipun mereka merupakan keluarga terdekat. Ayat 23 surat at-Taubah
ini menyinggung ayah dan saudara sebagai orang-orang yang dekat,
sementara di ayat lain, ayah dan saudara orang-orang Mukmin juga
disebutkan dan sekaligus memperingatkan agar tidak dekat dan berteman
dengan mereka bila menentang Allah dan Rasul-Nya.
"Kamu
tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka ..." (QS. al-Mujadilah: 22)
Tentu saja orang-orang dekat yang dicintai manusia tidak terbatas pada
empat kelompok ini saja yang disebut dalam surat al-Mujadilah ini, tapi
mereka adalah orang-orang terdekat, lalu bagaimana dengan yang lebih
jauh?[1]
Dengan mencermati ayat-ayat seperti ini dapat dipahami dengan baik
bahwa Allah Swt menjadi prinsip utama dalam menjalin hubungan keluarga
dan sahabat. Manusia saat menjalin hubungan perlu ada kesesuaian akidah.
Sekalipun kasih sayang ayah, anak, saudara dan keluarga lainnya sangat
baik dan menunjukkan hidupnya perasaan manusia, tapi ketika kasih sayang
ini mementang kasih sayang Allah, maka ia kehilangan nilainya.[2]
Hasilnya, Allah Swt tidak mengizinkan orang-orang Mukmin memiliki
hubungan dekat yang bisa saling mempengaruhi dengan orang-orang Kafir,
sekalipun mereka itu termasuk orang-orang terdekatnya.
Menurut al-Quran, tidak setiap hubungan diperbolehkan. Meninggalkan
hubungan dekat yang bisa mempengaruhi akidah dengan keluarga yang
berbeda dari sisi keimanan dan agama bukan saja diperbolehkan dan tidak
termasuk memutuskan silaturahmi, tapi al-Quran justru memperingatkan
bila seorang mukmin ingin melakukan hubungan ini. Pada dasarnya,
memutuskan silaturahmi hanya bermakna dengan keluarga mukmin, bukan
setiap orang. Yang perlu diingat, orang tua dalam masalah ini
dikecualikan. Berdasarkan ayat-ayat al-Quran, seorang anak harus tetap
berlaku baik kepada keduanya, sekalipun mereka musyrik. Hanya saja
catatannya adalah tidak mengikuti mereka dalam hal kesyirikan.
Lalu bagaimana bila kita ingin menjalin hubungan dengan keluarga yang
berbeda agama dengan tujuan memberikan informasi tentang Islam atau
membimbing mereka tentang Islam?
Perbuatan ini
diperbolehkan dalam Islam, bahkan merupakan satu perbuatan baik. Karena
orang pertama yang diajak oleh Nabi Muhammad Saw untuk menerima Islam
adalah keluarganya. Ketika beliau diperintahkan untuk menyebarkan agama
Islam secara terang-terangan, beliau mengumpulkan keluarganya dan
berusaha membimbing mereka.[3]
Sebaliknya, bila upaya membimbing mereka terlihat tidak ada manfaatnya,
maka hubungan dekat yang bisa saling mempengaruhi ini ditinggalkan,
tapi tetap menjalin hubungan dengan mereka. (IRIB Indonesia)
Jumat, 18 Oktober 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar